Masih banyak yang memiliki dedikasi dan harga diri..
Berilah ruang bagi mereka, karena mereka hanya bagian dari
birokrat..
Tugas mereka
hanya bekerja, mereka tidak diijinkan untuk bicara...
Jangan Pernah Berhenti Untuk Mencintai Negeri Ini..
-Sri Mulyani Indrawati-
Hari ini saya hanya ingin sekedar berbagi cerita nyata tentang kisah
Pegawai Pajak yang tidak pernah diungkap oleh media.
sekian dari puluhan ribu orang yang berusaha mencari uang untuk negara
tercinta kita..
cerita ini saya kutip dari pemilik akun Kompasiana.com dengan ID (http://www.kompasiana.com/idjon_djanbi)
==================================================
Saya
tergelitik untuk mencoba menulis, walaupun saya tidak pandai melakukannya,
mungkin ini disebabkan seringnya media memberitakan kebobrokan yang ada pada
Ditjen Pajak, instansi dimana adik saya bekerja.
Adik saya, memiliki sedikit kemiripan dengan Dhana Widyatmika, dimana suami
istri bekerja sebagai pegawai Ditjen Pajak dan kami juga merupakan anak perwira
TNI.
Saya banyak mengetahui kehidupan pribadi adik saya, semenjak tugas
pertamanya hingga saat ini - sudah belasan tahun, saya dan adik saya (atau
keluarganya) tinggal di kota yang sama sehingga sering ada interaksi di antara
kami.
Tidak
ada yang luar biasa pada adik saya, kecuali kecintaannya pada negeri ini yang
dia wujudkan dengan bekerja sebaik-baiknya, dia tidak terlalu peduli dengan
kedudukan dan jabatan. Tidak pernah melihat keadaan orang lain yang lebih
baik darinya dengan kacamata iri hati.
Sebenarnya,
adik saya cukup cerdas, kalau mau belajar, terbukti dia dapat memasuki
perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri ini, namun sayangnya belajarnya
memang agak angin-anginan, sehingga prestasi di sekolahnya ya biasa saja. Dia
mudah merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, hal itulah yang “menghambatnya”
untuk meneruskan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Kehidupan
keluarga adik saya terbilang biasa saja, alhamdulillah dia beristrikan sesama
pegawai yang memiliki komitmen yang sama sebagai abdi Negara ditambah dengan
ketaatan mereka beribadah, menjadikan mereka tidak silau dengan godaan yang ada
di sekeliling mereka dalam melaksanakan pekerjaannya.
Sejak
kecil kami hidup sederhana, walaupun almarhum ayah kami merupakan seorang
Kolonel TNI-AD, dan bahkan di masa perang kemerdekaan pernah menjadi anak buah
Pak Harto di Wehrkreise III Yogyakarta. Kejujuran menjadi nafas beliau
sehari-hari dan hidup sederhana menjadi kebanggaannya, walaupun sebagai anggota
TNI-AD yang pada masa orde baru merupakan warga Negara kelas satu dapat saja
beliau mendapatkan penghasilan lebih, namun beliau lebih suka menikmati hidup
seperti itu.
Kembali
ke adik saya, sedikit banyak almarhum ayah kami menurunkan sifatnya kepada dia,
kejujuran dan “tidak ingin macam-macam” dalam bekerja, di saat-saat
melaksanakan tugasnya tidak jarang dia mendapatkan tawaran sejumlah uang dari
wajib pajak yang diperiksanya, namun dia tolak dengan halus.
Keadaan
saya dan saudara-saudara saya yang lain secara ekonomi tidak terlalu baik,
terlebih kakak perempuan saya, yang bersuamikan seorang guru honor suatu SD
Negeri, jujur saja, jika sedang mengalami kesulitan uang, seringkali kami
bermaksud meminjam uang kepadanya, berharap, barangkali adik saya punya
kelebihan uang. Kadang diberikan pinjaman, dengan pesan: “Kalau bisa
dikembalikan ya! Kalau tidak bisa berarti saya yang mengalah, dengan mengurangi
jatah makan siang di kantor…” Begitu dia mengatakan, sambil tersenyum.
Jika
tidak dapat memberikan pinjaman, dia minta maaf dan seringkali berpesan untuk
sabar dengan kondisi kami yang seperti ini, “Mudah-mudahan di hari nanti kita
semua mendapatkan keadaan yang lebih baik lagi dibandingkan saat ini, Allah
Maha Adil” katanya.
Adik
saya, memang tidak mau memberi makan keluarganya dari hasil yang tidak berkah,
ia meyakini, hasil yang tidak berkah akan turut mempengaruhi pertumbuhan
anak-anak walaupun kesempatan itu berulang kali ada, namun ia berkeyakinan
bahwa rejeki telah ada yang mengatur, baginya rejeki tidak selalu berkorelasi
dengan materi, kesehatan dan kemudahan adalah contohnya. Di dalam diri adik
pula saya melihat bahwa baginya materi bukan segalanya, walaupun materi memang
penting. Pernah suatu ketika ia bercerita, bahwa ia baru saja menyuruh pulang
seorang wajib pajak, yang membawa satu travelling bag berisi penuh uang yang
semula ditujukan untuknya, ia menolak untuk menerima, walaupun saat itu kami
memang sedang membutuhkan uang untuk biaya pengobatan rumah sakit bagi orangtua
kami. Adik saya hanya sedih, kenapa godaan baginya sangat berat di saat ia
membutuhkan.
Saya
bangga terhadap integritas adik saya dan itu terjadi jauh-jauh hari sebelum
reformasi didengungkan oleh para petinggi negeri. Terhadap teman-teman
seangkatannya yang tinggal di kota yang sama di Jawa Timur, adik sering
memperkenalkan mereka kepada saya, dari interaksi tersebut pun saya
mengetahui bahwa ternyata adik saya tidak sendirian mengambil sikap, saya yakin
seyakin-yakinnya, apabila hal tersebut dijaga insya Allah negeri ini menjadi
penuh berkah.
Di
alam reformasi ini Ditjen Pajak hanya merupakan sub-sistem dari suatu sistem,
dimana satu bagian akan terkait dengan bagian lainnya. Tidak mungkin perbaikan
akan terjadi hanya di dalam sub-sistem tersebut tanpa diimbangi oleh bagian
lain. Menurut pendapat saya, berbenahnya Ditjen Pajak merupakan gangguan bagi
sistem lain yang tidak ingin berubah dan masih menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan mereka, untuk itulah pihak-pihak lain tersebut selalu
berkepentingan untuk menganggu kinerja Ditjen Pajak, tanpa pernah memikirkan
efek yang lebih besar, yaitu terganggunya penerimaan Negara dari sektor
perpajakan.
Kasus-kasus
Ditjen Pajak yang ditimbulkan oleh pihak lain tersebut dapat kita lihat
merupakan perbuatan masa lalu, itu pun harus dibuktikan kebenarannya terlebih
dahulu. Kasus Gayus, Bahasjim, Denok serta Dhana yang terakhir adalah perbuatan
masa lalu, bukan pada saat reformasi perpajakan telah digulirkan. Hanya Ditjen
Pajaklah satu-satunya institusi yang menerapkan whistle blowing system. Tidak
ada satu pun institusi pemerintah yang menerapkan aturan sekeras itu kepada
pegawainya sendiri.
Kepada pihak-pihak yang selalu menginginkan Ditjen Pajak terganggu kinerjanya, ingatlah selalu untuk menengok ke dalam diri masing-masing, seberapa jauh perbaikan yang sudah dilakukan. Apapun yang dilakukan, selama itu tidak didasarkan pada niat yang lurus akan mendapatkan kehancuran.
Mari
kita semua berbenah, rekening gendut tidak hanya milik sebagian pegawai pajak,
kejaksaan, kepolisian, TNI, anggota DPR seharusnya diperlakukan sama.
Selamanya,
saya akan bangga terhadap adik saya sendiri, sebagai pemeriksa pajak, dia hanya
menjalankan tugasnya berdasarkan Undang-undang, orang pajak bukan taat palak,
seperti yang tertulis dalam cover majalah Tempo edisi kali ini, mereka hanya
pegawai negeri biasa.
Saya
juga meyakini, media-media yang memberitakan institusi Ditjen Pajak secara
tidak berimbang memiliki kepentingan tertentu, terutama dalam membayar
pajaknya.
ref
: http://kneu.blogspot.com/2012/04/adik-saya-seorang-pemeriksa-pajak.html